SPPD FIKTIF DPRD RIAU Rp 195 M,ANGGOTA DEWAN TIDAK ADA YANG TERLIBAT,MUNGKINKAH,?
LAKR : Kasus SPPD Fiktif DPRD Riau 195 M, Mustahil Anggota Dewan tak Terlibat
Terkuaknya hasil korupsi SPPD fiktif di Sekretariat DPRD Riau sebesar Rp 195 M berdasarkan hasil pemeriksaan BPKP membuat masyarakat Riau terperangah. Korupsi yang dilakukan secara sistematis dan massif dengan melibatkan ratusan orang dengan angka fantastis ini termasuk kasus korupsi SPPD fiktif yang terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Sejauh ini baru pegawai bagian Sekretariat DPRD (Setwan) Riau yang diperiksa scara intensif. Mustahil anggota dewan tidak terlibat dalam kaus korupsi SPPD fiktif tersebut.
“Kita mengapresiasi kerja tim penyidik Ditreskrimsus Polda Riau dalam mengungkap kasus SPPD fiktif di Sekretariat DPRD Riau. Pemeriksaan masih difokuskan kepada pegawai Sekwan, baik ASN, tenaga ahli,honorer maupun THL. Mustahil anggota dewan tidak ikut terlibat dan menikmati dana haram tersebut,’ujar Wakil Direktur Lembaga Anti Korupsi Riau (LAKR), Rolan Aritonang, Jumat (13/6) di Pekanbaru.
Lambannya pengungkapan kasus SPPD fiktf di DPRD Riau, kata Rolan, sempat menimbulkan rasa skeptis dan kecurigaaan di masyarakat Riau. Ditambah lagi, Dirreskrimsus Polda Riau Kombes Pol Nasriadi yang sedang gencar-gencarnya menyidik kasus itu digantikan oleh Kombes Pol Ade Kuncoro Ridwan. Bahkan sampai Kapolda Riau M Iqbal diganti pengungkapan kasus SPPD fiktif ini belum jelas juntrungannya. Lambannya hasil audit BPKP yang selalu dikemukakan Dirreskrimsus Polda Riau tak digubris masyarakat. “Saking kesalnya masyarakat sampai melakukan aksi demo ke BPKP agar hasisl audit BPKP segara rampung dan diserahkan ke Polda Riau,”kata Rolan.
Secara kelembagaan, jelas Rolan, tugas bagian Sekwan adalah untuk mendampingi dan membantu para anggota dewan dalam melaksanakan tugasnya. Bahkan pencairan dana SPPD harus diajukan dulu oleh Sekwan kepada pimpinan DPRD untuk ditandatngani. Selanjutnya, barulah bisa dilakukan perjalanan dinas. “Pencairan dana SPPD harus melalui persetujuan pimpinan dewan. Kalau tidak ada tanda tangan pimpinan dewan maka perjalanan dinas tidak dapat dilakukan,”ujar Rolan yang juga mantan Ketua Komisi VII DPRD Riau.
Bahkan setiap akhir tahun, lanjut Rolan, Sekwan akan memberikan laporan penggunaan keuangan di pos Sekwan dalam sidang paripurna. Dalam sidang paripurna itu akan diketahui berapa anggaran perjalanan dinas DPRD yang terpakai dan berapa yang masih tersisa. “Penggunaan anggaran dewan dilaporkan dalam sidang paripurna setiap akhir tahun. Tidak mungkin para pimpinan dan anggota dewan tidak mengetahui secara pasti berapa anggaran dewan yang terpakai dan tersisa,”ujar Rolan
Modus yang biasa dipakai dalam kasus SPPD fiktif , kata Rolan, cukup beragam. Biasanya, Sekwan bekerja sama dengan agen perjalanan tertentu untuk mendapatkan tiket dan invoice “aspal”. Selanjutnya, dibuatlah dokumentasi seakan-akan telah dilakukan perjalanan dinas ke satu tempat. “Kerjasama dengan agen perjalanan dilakukan dengan prinsip saling menguntungkan,”kata Rolan.
Dalam kasus SPPD fiktif ini, kata Rola, sering kali Sekwan mencatut nama pegawai atau honorer. Mereka seakan-akan ikut dalam perjalanan dinas yang dilakukan, padahal tidak terlibat sama sekali. Atau diberi uang jasa oleh oleh Sekwan setelah nama mereka dicatut. “Para honorer dan pegawai sekwan ini hanya menjadi objek dan tidak berani menolak permintaan sekwan karena faktor psikologis sebagai bawahan. “Hampir semua pegawai dan tenaga honorer namanya dicatut dalam kasus sppd fiktif yang terjadi di seluruh Indonesia,”ujar Rolan.
Bahkan ada kasus sorang pimpinan DPRD Riau terindikasi juga memanfaatkan para honorer ini untuk menguras dana APBD Riau. Caranya, setiap kali berangkat, oknum anggota atau pimpinan DPRD Riau mencatut nama 8 sampai sepuluh orang untuk mengikuti perjalanan dinasnya. Padahal, para ASN dan honorer itu tidak berangkat sama sekali. “Hasil SPPD yang dicairkan itu dinikmati oleh anggota/pimpinan DPRD yang bersangkutan,”ujar Rolan.
Rolan menduga, pelaksanaan gelar perkara di Kortas Mabes Polri untuk menjaga agar hasil penyidikan ini bersifat terbuka dan bebas dari intevensi. Sebab, pengungkapan kasus SPPD fiktif dalam jumlah fantasts ini akan melibatkan para kader partai yang duduk sebagai anggota dewan. Pasca gelar perkara dan penetapan tersangka, tidak tertutup kemungkinan proses penyidikan akan berlanjut ke para anggota dan pimpinan dewan jika ditemukan bukti baru. “Tidak tertutup kemungkinan pasca gelar perkara dan penetapan tersangka, penyidikan kasus SPPD fiktif ini akan berlanjut kepada anggota dewan jika ditemukan bukti baru. Penyidik Polda Riau tidak usah ragu untuk memeriksa atau menetapkan para anggota dan pimpinan sebagai tersangka karena mereka didukung oleh segenap masyarakat Riau yang sudah muak dengan perilaku korup di DPRD Riau,”tegasnya.
Rolan mengingatkan, jika Polda Riau melakukan tebang pilih dalam pengungkapan kasus SPPD fiktif di DPRD Riau ini, maka kerja keras yang dilakukan Ditreskrimsus Polda Riau dalam pengungkapan kasus SPPD fiktif ini akan jadi bumerang. Sebab, dalam logika publik, tidak mungkin dana 195 M itu hanya dinikmati segelintir atau beberapa orang pegawai Sekwan saja. Sebab tugas Sekwan hanya sebagai pendamping untuk melancarkan tugas para anggota dewan. “Kalau pengungkapan kasus korupsi ini hanya sampai pada bagian Sekwan DPRD Riau saja dan para pimpinan dan anggota dewan tidak ada yang diperiksa dan menajdi tersangka maka Polda Riau akan menjadi bulan-bulanan kritik dan cacian dari masyarakat yang menyebabkan reputasi dan kredibilitas lembaga kepolisian semakin terpuruk,”pungkas Rolan.