KASUS SPPD FIKTIF SUDAH MENGGURITA DI RIAU,TERMASUK DI INSPEKTORAT.

KASUS SPPD FIKTIF SUDAH MENGGURITA DI RIAU,TERMASUK DI INSPEKTORAT.

Kasus SPPD Fiktif di Inspektorat Riau, Potensi Rugikan Negara 591 Juta
 Kasus korupsi di Pemerintahan  Provinsi (Pemprov) Riau tampaknya sudah menggurita dan menggapai semua lini. Kasus SPPD fiktif DPRD Riau dengan  angka 196 miliar belum tuntas dan 45 ASN di Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi Riau terlibat kasus SPPD fikitf yang bikin geger, kini muncul lagi kasus SPPD fiktif di Inspektorat Provisni Riau yang berpotensi merugikan negara Rp 591 juta lebih. 
“Kasus SPPD fiktif di Inspektorat Riau sungguh keterlaluan dan tidak dapat ditolerir. Lembaga yang bertugas melakukan pengawasan internal, audit dan investigasi untuk memastikan  pelaksanaan pemerintahan yang efektif dan akuntabel malah terlibat dalam kasus SPPD fiktif. Pantasan saja kasus korupsi di Pemprov Riau merajalela dan merugikan negara ratusan miliar karena lembaga Inspektorat juga terlibat dalam kasus korupsi,”ujar Wakil Direktur Lembaga Anti Korusi Riau (LAKR), Rolan Aritonang, Kamis (17/7) di Pekanbaru.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI perwakilan Riau tahun 2022, jelas Rolan, terdapat 297 orang pada 9 OPD yang melakukan perjalanan dinas lebih dari satu pada hari yang sama. Salah satu OPD yang melakukan perjalanan dinas ganda tersebut adalah Inspektorat Provisni Riau. “Di Inspektorat ditemukan kasus SPPD fiktif sebesar Rp 17.070.000.00 dengan potensi kerugian negara Rp 591.894.225.00,”ujar Rolan.
Kasus SPPD fiktif di Inspektorat Riau, lanjut Rolan, merupakan sebuah kejahatan luar biasa dan sangat ironis. Sebab inspektorat bertugas untuk membantu gubernur dalam membina dan mengawasi pelaksanaan tugas pemerintah daerah dan tugas perbantuan. Selain itu inspektorat juga bertugas untuk melakukan pengawasan internal, audit dan investigasi untuk  memastikan pelaksanan pemerintahan yang efektif dan akuntabel. “Kalau di inspektorat juga terjadi kasus SPPD fiktif, bagaimana di OPD yang lain. Pasti akan lebih besar karena pengawas internal pemerintahan juga melakukan kejahatan yang sama,”kata Rolan mempertanyakan.
Rolan juga mengkritisi jabatan ganda yang diemban Kepala Inspektorat Riau, Sigit Juli Hendirawan. Sebab, Sigit sebelumnya diketahui juga menjabat sebagai Komisaris di salah satu BUMD milik Pempriov Riau. “Jabatan sebagai Kepala Inspektorat saja tidak optimal dilaksanakan. Kini Sigi malah merangkap juga sebagai komisaris di salah satu BUMD. Pantasan saja kasus korupsi dan kebobolan APBD Riau semakin merajalela karena kinerja Inspektorat yang tidak optimal dan bermasalah,”ujar Rolan. 
Pada tahun anggaran 20022, jelas Rolan, Pemprov Riau telah menganggarkan biaya perjalanan dinas sebesar Rp 418.760.232.448.00 dan terealisasi sebesar Rp 362.486.787.003.00 atau setara dengan 86.56 persen. Dari LHP BPK tahun 2022 ditemukan kerugian negara pada 9 OPD sebesar Rp 3.173.571.293.00. “Pada Inspektorat Riau ditemukan kasus SPPD fiktif sebesar Rp 17.070.000.00,”kata Rolan.
Temuan pada LHP BPK, papar Rolan, merupakan hasil uji petik dan tidak menggambarkan kerugian negara yang sebenarnya akibat SPPD fikitf. Sebab, audit yang dilakukan BPK merupakan audit administrasi. Sebagai perbandingan, temuan SPPD fiktif di Sekwan DPRD Riau pada tahun 2020 hanya Rp 51. 900.000. Tetapi setelah dilakukan penyidikan oleh Ditrekrimsus Polda Riau dan hasil audit BPKP ternyata angka temuan membengkak menjadi 196 M. “Temuan pada LHP BPK RI adalah hasil audit adminsitrasi dan hanya berdasarkan uji petik. Jika dilakukan penyidikan oleh APH dan diaudit oleh BPKP maka angka SPPD fiktif bisa menbengkak seperti  kasus SPPD fikit di Sekwan DPRD Riau,”ujar Rolan.
Kasus SPPD fiktif di Inspektorat Riau, kata Rolan, bertentangan dengan Peraturan Pemerintah N0 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pada Pasal 121 ayat (2) yang menyatakan bahwa pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar penerimaan atau pengeluaran atas pelaksanaan APBD bertanggug jawab tehadap kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat  dimaksud.  Serta Pasal 141 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap pengeluaran harus  didukung bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih.  Juga bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 77  Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah serta Peraturan Gubernur Riau N0 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Perjalanan Dinas yang  bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Riau.
Rolan meminta agar Gubri Abdul Wahid dapat mengevaluasi kinerja Kepala Inspektorat Riau yang tidak optimal yang berdampak pada banyaknya kasus penyalahgunaan APBD dan turunnya predikat pengelolaan keuangan Pemrov Riau dari Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) menjadi Wajar dengan  Pengecualian.  “Gubri harus mengevaluasi kinerja Kepala Inspektorat Riau yang berdampak pada banyaknya kasus penyalahgunaan APBD karena lemahnya pengawasan internal dan harus mencopot Sigit dari jabatannya sebagai Komisaris BUMD agat fokus pada tuposkinya sebagai Kepala Inspektorat saja,”tegasnya.
Kepala Inspektorat Riau Sigit Juli Hendriawan yang dikonfirmasi secara tertulis tentang kasus SPPD fiktif di instansi yang dipimpinnya belum memberikan klarifikasi. Padahal sudah diberi tenggat waktu selama 14 hari. “Bapak sedang tidak berada di tempat. Kalau klarifikasi atas kasus SPPD fiktif sudah ada nanti akan kami hubungi lebih lanjut,” jawab salah  seorang staf di Inspektorat Riau

Penulis : Heber Samudera