LAM RIAU MINTA AGAR HAK MASYARAKAT ADAT DIBERI 20 % UNTUK PLASMA

LAM RIAU MINTA AGAR HAK MASYARAKAT ADAT DIBERI 20 % UNTUK PLASMA

HGU Sawit 20 Persen untuk Plasma,  LAM Riau Minta Hak Masyarakat Adat Diakomodir
Sikap tegas yang ditunjukkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/ BPN) Nusron Wahid yang memerintahkan perusahaan yang yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan untuk membangun kebun plasma untuk masyarakat sekitar mendapat dukungan penuh dari Lembaga Adat Mealyu (LAM) Riau. Namun, dalam implementasinya, LAM meminta agar hak masyarakat adat dapat diakomodir dalam 20 persen plasma yang dibangun oleh perusahaan perkebunan.
“LAM mendukung penuh penerapan aturan pemerintah agar perusahaan perkebunan membangun kebun plasma sebanyak 20 persen dari luas HGUnya bagi masyarakat sekitar wilayah operasionalnya. Kebijakan itu merupakan win-win solution (solusi terbaik) bagi konflik antara masyarakat sekitar dengan perusahaan perkebunan yang selama ini kerap terjadi di Riau. Dalam tataran implmentasi kebijakan tersebut, hak masyarakat adat harus diakomodir,” ujar Timbalan I Dewan Pengurusan Harian (DPH)  LAM Riau, Datuk H Tarlaili SAg, Kamis (10/7) di Kantor LAM, Jalan Diponegoro Pekanbaru.
HGU perkebunan seluas 20 persen untuk plasma, jelas Tarlaili merupakan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Undang-undang No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, terutama pasal 58 yang mewajibkan perusahaan perkebunan yang memperoleh  izin usaha di areal penggunaan lain atau pelepasan kawasan hutan untuk memfasiiltasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 20 persen dari luas lahan tersebut. Selama ini, kebijakan pemerintah ini hampir tidak dijalankan perusahaan perkebunan. “Akibatnya sering terjadi konflik antara masyaraat tempatan yang bermukim di sekitar areal kebun dengan perusahaan pemilik HGU,”ujar Tarlaili.
Tidak berjalannya UU No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan tersebut, kata Tarlaili, disebabkan belum adanya koordinasi yang baik antara Pemerintah daerah dengan pengusaha perkebunan yang ada. Ditambah lagi, kebijakan pemerintah pusat tersebut belum diatur dalam Peraturan Daerah sebagai turunan dari UU yang  ada. “Pemprov Riau diminta untuk segera menyusun Perda tentang plasma 20 persen dari setiap perusahaan pemilik perkebunan yang ada di Riau. Dengan terbitnya Perda, maka penerapan kebijakan plasma 20 persen untuk masyarakat akan lebih mudah dan jelas aturannya,”ujar Tarlaili.
Pengelolaan plasma 20 persen, kata Tarlaili merupakan usaha petani mandiri dan tidak dikelola dalam bentuk koperasi  karyawan yang terafiliasi dengan perusahaan. Namun dalam prakteknya, perusahaan diminta untuk tetap mendampingi para petani dalam  teknik budidaya tanaman perkebunan. Namun Tarlaili mengharapkan kebun plasma itu tidak diberikan kepada perorangan tetapi dikelola dalam bentuk kelompok. “Kalau diberikan dalam bentuk perorangan yang disertai dengan sertifikat hak milik maka dikhawatirkan kebun itu akan berpindah tangan karena akan bisa diperjual belikan oleh petani kepada pihak ketiga,”katanya.
LAM sendiri, kata Tarlaili, tidak berperan sebagai lembaga yang ikut mengelola kebun plasma tetapi hanya mendampingi dan memfasilitasi agar masyarakat adat dapat mendapatkan haknya. Sebab, masyarakat adat adalah pemilik paling sah terhadap tanah ulayat yang telah dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan. Pada waktu perusahaan perkebunan belum ada, maka masyarakat adat akan meminta izin kepada pucuk adat untuk mengelola tanah ulayat untuk usaha pertanian dan perkebunan mereka. “Setelah penen maka masyarakat adat akan memberikan beberapa ‘gantang’ hasil kebun mereka kepada pucuk adat sebagai bentuk penghormatan,”ujar Tarlaili.
Tarlaili berharap penerapan kebun plasma 20 persen bagi masyarakat sekitar akan menjadi solusi terbaik untuk menghindari konflik antara masyarakat tempata dengan perusahaan perkebunan. Sebab, masyarakat tempatan yang mempunyai keinginan untuk membangun kebun namun terkendala lahan yang sudah semakin sempit dan sulit di dapatkan karena telah beralihfungsi menajdi areal perkebunan atau masuk ke dalam kawasan hutan. “Penerapan aturan pembangunan plasma 20 persen dari luas HGU perusahaan perkebunan akan membawa dampak positif bagi pemberdayaan ekonmi masyarakat tempatan. Serta menciptakan keadilan bagi masyarakat yang diakomiodir haknya dalam kebijakan pemerintah dalam pembangunan  perkebunan. Yang pada akhirnya menciptakan pemerataan kesejateraan bagi semua pihak yang terlibat dalam usaha perkebunan,”pungksanya.

Penulis : Heber Samudera