Setengah Abad Memahat Waktu: Nyoman dan Perjalanan Seni ke Penjuru Dunia
DetikAktualNews.Com.MAGELANG – Dari sebuah bengkel sederhana di Muntilan, Kabupaten Magelang, karya seni replika Candi Borobudur lahir dan menembus mancanegara. Di balik pahatan yang kini tersebar hingga Afrika Selatan, Belanda, Jepang, kawasan Asia Tenggara, bahkan Angkor Wat, ada tangan seorang maestro, I Nyoman Alim Mustapha, perantau asal Bali yang telah mengabdikan hidupnya pada seni pahat batu selama lebih dari lima dekade.
Nyoman memulai perjalanan panjangnya sejak tahun 1967. Kala itu, ia baru berusia 15 tahun ketika memutuskan merantau ke Jawa demi melanjutkan sekolah. Takdir kemudian mempertemukannya dengan Candi Borobudur, mahakarya warisan dunia yang akhirnya menjadi inspirasi terbesar dalam hidupnya. Kekaguman pada bangunan megah berbatu itu menyalakan tekadnya untuk mendalami dunia pahatan.
Karya pertamanya berupa patung kepala Buddha setinggi 25 sentimeter ternyata membuka jalan besar. Seorang kolektor asal Amerika terpesona, bahkan langsung memesan seribu buah sekaligus. “Tiga bulan saya hampir tanpa tidur, siang malam mengerjakan. Dari situlah awal segalanya,” kenang Nyoman, Selasa (23/9/2025).
Sejak momen itu, dunia pahatan tak pernah lagi sama baginya. Nyoman terus mengasah kemampuan dan berinovasi. Ia tak hanya menggunakan batu candi sebagai medium, melainkan juga bereksperimen dengan marmer, fiber, silika, hingga aluminium. Prinsipnya sederhana: seni harus selalu bergerak, beradaptasi, dan tidak boleh terhenti oleh zaman.
Salah satu karya yang paling banyak diminati adalah replika Candi Borobudur. Proses pembuatannya memakan waktu sekitar enam bulan. Dalam pengerjaan, Nyoman memadukan bahan alami dan modern agar hasil tetap menjaga ruh tradisi sekaligus selaras dengan kebutuhan masa kini.
Ketekunan dan konsistensinya membuat karya-karya Nyoman kini menjelajah dunia. Replika candi dan patung buatannya menjadi bagian dari koleksi pribadi, galeri seni, hingga simbol persahabatan lintas bangsa. Dari Muntilan, warisan budaya itu menemukan jalan untuk menyapa dunia.
Meski namanya telah melambung, Nyoman tetap merendah. Ia menganggap seni pahatan bukan sekadar karya personal, melainkan bagian dari warisan budaya yang harus dijaga. Ia juga menyadari bahwa zaman terus berubah, dan teknologi kian maju. Namun bagi Nyoman, tradisi tetap tak tergantikan.
“Teknologi boleh maju, tapi jangan sampai seni tradisi hilang. Semoga karya ini tetap hidup, dan ada anak-anak muda yang mau melanjutkan,” ujarnya penuh harap.
Setelah 58 tahun berkarya, pesan Nyoman menjadi pengingat bahwa seni tradisi bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang masa depan yang harus terus diwariskan. Dari Muntilan, ia telah menunjukkan bahwa seni bisa melintasi batas, menyatukan peradaban, dan memberi makna universal.
Penulis.Imbron
Editor.Gus Mustakim